Rabu, 10 April 2013

Mengenal ADD/ADHD pada Anak


Ada seorang ibu berkonsultasi kepada kami. Dia sedang kebingungan karena anaknya baru saja didiagnosa mengalami ADD/ADHD oleh psikiater anak. Sang psikiater pun langsung memberikan resep obat kepada si ibu. Namun demikian, si ibu ragu karena ia tahu bahwa obat memiliki efek samping untuk jangka panjang. Oleh karena itulah, ia datang ke Brain Optimax untuk mencari alternatif penanganan bagi anaknya.

Ada juga orangtua yang lain datang. Mereka mengeluhkan anaknya yang susah berkonsentrasi dan selalu mendapat nilai jelek. Mereka juga bercerita bahwa anaknya ini juga kurang sabar dan seringkali bertindak sesuka hatinya tanpa melihat keadaan lingkungan. Padahal, anak ini sudah berusia remaja dimana ia seharusnya sudah lebih paham mengenai norma sosial. Mereka lalu bertanya, apakah anaknya mengalami gangguan?

Atau untuk Anda sendiri yang memiliki anak  dengan masalah konsentrasi, tidak tekun, berantakan, dan tidak sabaran, mungkin Anda perlu mewaspadai bahwa mungkin saja  anak Anda mengalami suatu gangguan dalam pemusatan perhatian, yang sering disebut sebagai Attention Deficit-Hyperactivity Disorder (ADD/ADHD). Berikut akan saya jelaskan secara ringkas seperti apa gejala ADHD dan penanganannya.

Perlu diketahui bahwa terdapat tiga gejala utama yang menjadi ciri khas untuk menegakkan diagnosa bahwa anak mengalami ADD/ADHD:

  1. Inatensi (Kurang Mampu untuk Memberi dan Memusatkan Perhatian)
Hal ini merupakan gejala yang biasanya paling cepat dideteksi  ketika anak mulai masuk sekolah. Perlu diketahui bahwa pada anak usia dini (balita), kemampuan konsentrasi memang belum berkembang dengan optimal sehingga mereka masih mudah merasa bosan.
Namun, memasuki usia sekolah, anak sudah diharapkan untuk bisa berkonsentrasi.

Orangtua yang mengalami anak dengan ADD biasanya mendapatkan laporan kurang baik dari pihak sekolah, khususnya mengenai kemampuan konsentrasi dan fokus dari si anak dibandingkan dengan teman-teman sebayanya. Mereka memang sulit untuk memberi perhatian pada rutinitas. Anak sering mengantuk, mudah terdistraksi, tidak menyelesaikan tugas dengan tuntas pada waktunya, mudah bosan, tulisan berantakan, buku-buku sering tertinggal atau hilang dan jarang menyelesaikan tugas dengan hasil yang memuaskan karena tidak teliti. Mereka juga seakan sering melanggar perintah dari lingkungan dan tidak mendengar instruksi. Bukan berarti karena telinga mereka bermasalah, namun karena mereka tidak mampu memusatkan perhatian pada perintah yang diberikan.

  1. Impulsif (Kurang Mampu Mengendalikan Dorongan Hati)
Anak-anak yang didiagnosa mengalami ADD biasanya kesulitan untuk bisa mengendalikan dorongan hatinya. Mereka kurang sabar dalam menahan keinginan, menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan, tidak suka menunggu giliran, dan suka menyela dalam percakapan atau permainan.

  1. Hiperaktif (khusus pada mereka yang didiagnosa mengalami ADD dengan Hiperaktivitas)
Masalah kurang mampunya mereka untuk memusatkan perhatian di sekolah, terkadang bertambah rumit pula dengan ketidakmampuan mereka untuk duduk tenang. Mereka sering berlari-larian di antara teman-temannya yang duduk diam, menjahili temannya, terus menerus berbicara atau mengobrol di saat guru menerangkan, dan tampak gelisah apabila sedang duduk. Pada beberapa anak, mereka sering melakukan aktivitas yang membahayakan diri sendiri seperti melompat-lompat dari tempat tinggi atau memanjat sehingga sering berdampak pada cedera fisik akibat sulit untuk tenang.

Namun perlu diingat, kita sangat perlu berhati-hati untuk menegakkan diagnosa mengenai ADD/ADHD. Di samping gejala utama, ada kriteria lain yang lebih spesifik seperti durasi, usia, dan konteks munculnya gejala. Oleh karena itu, selain melalui observasi tingkah laku intensif, para praktisi kesehatan mental juga melakukan serangkaian tes lainnya, seperti Test of Variable Attention (TOVA) untuk mengecek rentang atensi  atau tes psikologi Weschler untuk mengkonfirmasi IQ dan kemampuan kognitif lainnya.

Saya sangat merekomendasikan juga untuk melakukan Quantitative EEG, yaitu pengecekan gelombang otak untuk mengetahui ada tidaknya dominasi gelombang lambat pada otak. Mengapa perlu dilakukan pengecekan gelombang otak? Hal ini tak lain karena para peneliti psikologi masa kini sepakat bahwa ADD/ADHD disebabkan oleh adanya disregulasi fungsi otak. Pada anak yang normal, ketika diminta mengerjakan tugas, otak bagian depan mereka akan aktif. Namun tidak halnya dengan anak ADD/ADHD, otak depan mereka justru ‘tidak menyala’ saat diharuskan berkonsentrasi. Oleh karena itu, semakin kuat mereka berusaha konsentrasi, semakin buruk hasilnya. 

Dengan adanya penyebab yang bersifat neurologis ini, maka bila ditelusuri biasanya ADD/ADHD juga bersifat genetis. Oleh karena itulah, ketika anak kita mendapat diagnosa ADD/ADHD, sebagai orangtua, kita juga perlu merefleksikan diri bahwa mungkin saja kita juga memiliki kendala yang sama dengan anak kita. Faktor lain yang berhubungan juga berkaitan dengan sistem imun dan metabolisme tubuh, keberadaan logam beracun dalam tubuh yang mengganggu kinerja otak, atau cedera kepala.

Dari penjelasan adanya penyebab neurologis pada anak dengan ADD/ADHD, maka sangat wajar apabila para dokter menganggap bahwa cara penanganan yang paling efektif adalah melalui obat. Namun demikian, mengingat adanya efek samping obat yang diberikan, ada beberapa alternatif lain yang bisa dilakukan dan perlu dilakukan secara komprehensif dalam penanganan anak ADD/ADHD:

Terapi Neurofeedback
  1. Melakukan terapi psikologis, khususnya terapi perilaku dan Neurofeedback. Kedua jenis terapi ini terbukti secara ilmiah dalam membantu mengatasi gejala ADD/ADHD.
  2. Memodifikasi gaya pengasuhan. Anak ADD/ADHD akan semakin melawan dan susah berkonsentrasi apabila lingkungan menekannya. Oleh karena itu, dukungan dan kata-kata positif serta  menggali penyelesaian masalah lebih membantu dibandingkan omelan dan teriakan.
  3. Memberikan asupan nutrisi yang tepat. Pada anak dengan ADD/ADHD dianjurkan untuk lebih memperbanyak mengonsumi makanan berprotein tinggi dipadukan dengan sayuran. Mereka juga harus mengurangi konsumsi karbohidrat serta gula sederhana (seperti gula, pasta, roti, mi, dan sejenisnya).
  4. Mencari hal yang paling mereka minati untuk dikembangkan. Meskipun anak dengan ADD/ADHD mudah bosan dengan rutinitas sekolah, namun mereka akan bisa sangat fokus apabila mereka tertarik dan tertantang dengan hal tertentu. Oleh karena itu, sudah tugas kita sebagai orangtua untuk membidik hal apa yang paling mereka nikmati dan mendukung mereka dengan segala potensinya.




Jumat, 28 September 2012

Perhatikan Diet Anak Anda


Beberapa rekan guru dan orangtua seringkali mengajukan pertanyaan menggelitik pada kami. ‘Apakah benar makanan berpengaruh pada masalah psikologis? ’Kenapa makanan pedas kurang baik bagi proses pengajaran di kelas?’, atau:’Kenapa murid-murid sekarang banyak yang gelisah atau mengantuk di kelas setelah jam istirahat selesai?’

You Are What You Eat
Fakta bahwa makanan dan minuman sangat berperan terhadap kondisi psikologis sebenarnya bisa diamati dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh,  sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak orang menggunakan minuman tertentu, seperti kopi atau teh untuk membuat mereka bersemangat. Ada lagi yang setelah makan makanan yang pedas, menjadi lemas dan mengantuk. Setelah pesta dimana anak-anak mendapatkan permen, minuman soda, dan kue berlebihan, maka guru-guru banyak yang mengeluh bahwa murid-murid mereka di kelas lebih hiperaktif, serta sulit berkonsentrasi.

Hal-hal tersebut terjadi karena pikiran dan tubuh pada dasarnya tidak bisa terpisahkan. You are what you eat. Ungkapan ini sangat tepat untuk menggambarkan bahwa makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh sangat berkaitan dengan  keadaan emosi, pikiran, dan tindakan Anda. Baik yang pengaruh jangka pendek, misalnya: zat pewarna dan perasa tambahan, cabai, alkohol, kafein, gula, maupun yang berpengaruh jangka panjang, misalnya: lemak tak jenuh, makanan yang diproses, garam. Hal ini didukung pula oleh penelitian dari Mental Health Foundation and Sustain di Inggris menemukan hubungan antara pola makan buruk dengan gangguan kesehatan mental khusus seperti ADHD, demensia, depresi, dan skizofrenia.

Metabolisme Tubuh, Logam Berat, dan Masalah Tingkah Laku
Hingga saat ini, penelitian mengenai penyebab dari munculnya kasus anak berkebutuhan khusus masih terus berjalan. Namun, penelitian yang dilakukan para ahli saat ini mengarah pada kesimpulan bahwa salah satu yang mungkin berkontribusi pada munculnya masalah tingkah laku pada anak adalah adanya logam beracun dalam tubuh dan system metabolism yang kurang adaptif.

Sebagai contoh, penelitian di Indonesia maupun di Prancis menunjukkan bahwa pada anak-anak dengan autism mengalami keracunan logam berat, seperti Timbal ( Pb ), Merkuri ( Hg ), Cadmium ( Cd ), Stibium ( Sb ). Gejala autisme bisa dipicu dari racun-racun logam berat tersebut yang tidak bisa dibersihkan karena anak memiliki kelemahan genetik. Kontaminasi logam berat ini bisa berasal dari polusi udara ( asap knalpot mengandung Timbal ), tambalan gigi amalgam, vaksin yang menggunakan merkuri sebagai pengawet, serta jika mengkonsumsi ikan di perairan yang tercemar.

Logam berat yang masuk ke dalam tubuh bersifat destruktif. Merkuri terutama merusak myelin ( selaput pelindung saraf – saraf otak ). Akibatnya sel – sel darah otak ibarat kabel listrik yang terbuka dan rusak, tidak bisa berfungsi dengan baik. Selain merusak enzim pencernaan, merkuri juga menimbulkan turunnya daya kekebalan tubuh. Hal ini menjelaskan munculnya gangguan tingkah laku pada anak dengan autisme serta mengapa mereka sering sakit.

Proses penyerapan protein pada anak autis juga terganggu. Pada anak dengan autisme, protein yang bersumber dari kasein dan glutein tidak dapat diolah dan justru akan bereaksi seperti narkotik menimbulkan gangguan perilaku dan anak menjadi hiperaktif. Oleh karena itulah, para ahli sepakat bahwa anak autis harus menjalankan diet yang disebut Diet GF-CF (Gluten-free dan Casein-free). Selain diyakini dapat memperbaiki gangguan pencernaan, juga bisa mengurangi gejala atau tingkah laku autisme anak. Selain harus bebas gluten dan kasein, makanan lain yang juga dilarang adalah  makanan yang mengandung ragi, makanan yang difermentasikan dan gula.

Diet kasein-glutein ini didukung oleh penelitian Dr. dr Sri Achadi Nugraheni, ahli gizi dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang yang menunjukkan bahwa diet gluten  dan  kasein berpengaruh besar terhadap autisme. Setelah anak autisme  menjalankan diet ketat dengan menghindari asupan mengandung kasein yang berasal dari susu, misalnya susu sapi, susu bubuk, susu skim, susu kambing, mentega, dan keju, tampak adanya perubahan perilaku ke arah positif. Gangguan perilaku interaksi sosial serta gangguan komunikasi nonverbal yang lazim dialami anak penyandang autism berkurang. Demikian pula gangguan emosi dan persepsi sensorik,

Bagaimana Menentukan Program Diet yang Tepat?
Pada dasarnya, sistem metabolism tubuh setiap orang unik. Beberapa orangtua khawatir bila menerapkan diet GF-CF untuk anaknya, maka anak akan kurang gizi. Mereka juga bingung bagaimana cara untuk mengeluarkan logam beracun dalam tubuh yang merupakan sumber dari masalah tingkahlaku anak? Oleh karena itulah sebelum mengetahui program diet dan detoksifikasi yang tepat, perlu diketahui dulu tingkat keracunan dan bagaimana sistem metabolisme tubuh anak.

Sebagai contoh untuk anak dengan autisme, diet GF-CF memang  sangat disarankan. Namun demikian, asupan glutein dan casein perlu dihentikan secara perlahan-lahan. Selain itu, kita perlu menggunakan sumber protein lain yang bisa diperoleh dari protein nabati yang banyak terdapat pada kelompok kacang-kacangan atau protein hewani yang banyak terdapat pada daging ayam, sapi, maupun ikan.

Lalu, bagaimana caranya untuk mengetahui tingkat keracunan dan sistem metabolisme tubuh kita serta diet yang tepat untuk tiap anak? Salah satu caranya adalah dengan melakukan analisa rambut terlebih dahulu.

Sekilas tentang Analisa Rambut

Dr.Igor Tabrizian, pakar analisa rambut dari Australia menyatakan bahwa rambut tidak berubah sehingga mineral yang tertanam dalam rambut dan kadarnya tidak berubah meski rambut memanjang. "Rambut manusia adalah rekaman sejarah yang bisa merefleksikan perubahan metabolisme,".
Dengan melakukan analisa rambut kita dapat mengidentifikasi kekurangan nutrisi jangka panjang yang merupakan akar dari penyakit yang ada, serta menemukan logam berat beracun yang bisa mencetuskan penyakit. Bila sudah diketahui, maka proses diet dan detoksifikasi akan bisa dilakukan dengan pemberian suplemen yang dibagi menjadi beberapa kategori, yakni memperbaiki, memberi nutrisi esensial agar anak tetap memiliki keseimbangan gizi, membersihkan racun serta kemudian memperbaiki neurotransmitter. 

Program biasanya berjalan selama 6-48 bulan, tergantung derajat keparahan yang ada.
Ditambahkan bahwa kunci keakuratan analisa rambut terletak pada kredibilitas laboratorium dan keahlian ahli medis dalam menginterpretasikan hasil analisa.  Sejauh ini, analisa rambut ini belum dapat dilakukan di Indonesia. Para orangtua yang ingin melakukan analisa rambut perlu mengirimkan sampel rambut ke Amerika Serikat atau Australia. Oleh karena itu, kami, Brain Optimax,  bekerjasama dengan laborataorium di Amerika Serikat untuk memenuhi kebutuhan klien akan analisa rambut. Anda bisa mencari informasi lebih lanjut kepada kami mengenai jasa analisa rambut ini langsung kepada professional kesehatan kami.

Oleh: Ratih Arruum & Lidwina Sonia
Dirangkum dari berbagai sumber

Kamis, 14 Juni 2012

Jika Anak Tidak Naik Kelas

Oleh: Ratih Arruum Listiyandini, M.Psi dan Lidwina Sonia Aji, M.Psi.
         Tim Psikolog Brain Optimax
Dipublikasikan pada Majalah 'Anakku', Juni 2012

Dewasa ini tuntutan sekolah anak dinilai semakin lama semakin berat dibandingkan sebelumnya. Misalnya, sekarang anak dituntut untuk menguasai banyak bahasa dalam waktu yang bersamaan. Beberapa sekolah juga ada yang mengharuskan anak tes IQ dulu sebelum masuk Sekolah Dasar. Tingginya tuntutan dari sekolah ini terkadang tidak sesuai dengan tingkat kemampuan dan penyesuaian diri anak. Oleh karena itu, siswa yang ‘dianggap tidak mampu mengikuti’ tuntutan yang ada harus merasakan tidak dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi atau tinggal kelas.

Aspek Psikologis Tinggal Kelas
Beberapa pendapat menyatakan bahwa tinggal kelas diperlukan apabila anak kesulitan untuk memahami dan mengingat materi belajar yang ada. Melalui pengulangan pada kelas yang sama, diharapkan anak akan lebih mampu memahami pelajaran. Untuk beberapa anak dengan masalah tingkah laku dan kedisiplinan, terkadang tinggal kelas juga dilakukan untuk membuat mereka ‘jera’ dan mau memperbaiki sikap. Tinggal kelas mungkin juga diperlukan bagi mereka yang berusia terlalu muda agar ketika masuk ke tahap selanjutnya bisa lebih matang dan siap.

Di balik beberapa argumentasi logis untuk tidak menaikkan siswa ke kelas yang lebih tinggi, terdapat hasil studi yang ternyata justru menunjukkan bahwa tinggal kelas lebih banyak berdampak buruk terhadap kesehatan mental, baik saat ini maupun masa depan. Anak yang tinggal kelas juga sering dicap sebagai ‘anak yang bodoh’ atau ‘anak yang bandel’ sehingga berdampak buruk terutama mengenai konsep dirinya. Penelitian dari Asosiasi Psikolog Sekolah Amerika menunjukkan bahwa anak yang tinggal kelas memiliki harga diri yang lebih rendah, semakin sering bolos masuk sekolah, dan pada akhirnya menyebabkan mereka putus sekolah. Pada titik ekstrim, hal ini berdampak pada kehidupan dewasa mereka, seperti kesulitan mencari pekerjaan yang layak, terlibat penggunaan narkoba, dan kegiatan kriminal.

Terlepas dari dampak buruk tinggal kelas, sistem tinggal kelas masih diterapkan pada kebanyakan sekolah di Indonesia. Lantas, bagaimana bila anak kita mengalaminya?

Ketika Anak Tinggal kelas, Apa yang Harus Dilakukan?

·         Ketahui Penyebabnya Dahulu
Identifikasi penyebab anak tidak naik kelas akan mengarah pada pemberian solusi yang tepat. Banyak faktor yang mempengaruhi performa anak di sekolah. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi dua, yaitu faktor internal (dari dalam diri anak) dan faktor eksternal (dari lingkungan). Faktor internal yang dapat menyebabkan performa anak di sekolah terhambat misalnya daya atensi yang kurang, perkembangan neurologis yang terhambat, proses kognitif yang kurang efisien, emosi yang kurang terkontrol, motivasi rendah atau masalah tingkah laku. Sebaliknya, faktor lingkungan itu berada di luar diri anak misalnya pengaruh dari teman bermain, tuntutan sekolah yang memang terlalu tinggi, atau kurangnya pengawasan orang dewasa terhadap anak.
Untuk mengetahui penyebab performa anak di sekolah kurang optimal, ada beberapa hal yang bisa dilakukan:

-          Berdiskusi pada guru atau konselor di sekolah anak
Orang tua dapat bertanya kepada guru apa yang menyebabkan anak dinilai belum memenuhi persyaratan naik kelas, bagaimana tingkah laku anak di sekolah, apakah anak dapat mempertahankan atensinya di sekolah dan sebagainya. Pada beberapa kasus anak yang menjelang remaja, bisa juga disebabkan karena pengaruh buruk teman-temannya yang malas belajar misalnya.
-          Komunikasi dengan anak secara langsung
Orangtua juga perlu membangun komunikasi yang hangat dan terbuka kepada anak. Tanyakanlah bagaimana perasaan anak di sekolah, kesulitan-kesulitan apa yang dirasakan oleh anak dan lainnya.
-          Konsultasikan pada ahlinya
Orang tua juga dapat melakukan asesmen psikologis misalnya membawa anak ke klinik psikologi untuk melihat potensi intelektual dan emosionalnya atau melakukan Brain Mapping untuk melihat area otak yang dinilai belum optimal.

Yang pasti, dapatkanlah informasi sebanyak-banyaknya tentang kondisi anak Anda agar dapat memberikan solusi yang sesuai untuk anak.

·         Tetap Berikan Dukungan dan Penghargaan Positif pada Anak
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah orang tua harus selalu memberikan dukungan yang positif pada anak. Tinggal kelas mau tak mau merupakan suatu pengalaman buruk bagi anak. Pasti akan muncul perasaan sedih, merasa bodoh, tidak kompeten, dan berbagai perasaan buruk lainnya. Di sinilah pentingnya dukungan orangtua agar anak tidak menjadi sedih berlaru-larut. Tunjukkan padanya bahwa Anda tetap mencintainya meskipun ia tidak naik kelas dan Anda akan turut menemaninya untuk mau memperbaiki diri. Hiburlah dirinya bila tampak sedih dan tentunya sembari mengajaknya untuk tetap mau berusaha memperbaiki dirinya.
·         Cari Solusi Paling Tepat berdasarkan Penyebabnya
Penanganan anak yang under-achiever (IQ baik tapi prestasi buruk), tentunya berbeda dengan anak yang ternyata memang memiliki IQ di bawah rata-rata. Bila masalahnya adalah under-achiever maka penanganan untuk membangkitkan motivasi dan tujuan belajarlah yang lebih penting. Namun bila anak memiliki kemampuan daya tangkap dan konsentrasi yang kurang, maka dibutuhkan penanganan khusus melalui pengulangan, remedial, atau dengan mengikuti program pelatihan khusus untuk membantu anak meningkatkan konsentrasinya. Bila masalahnya ternyata ada pelajaran yang kurang disukai, maka kita sebagai orangtua bisa membantu mendampingi anak belajar dengan teknik yang lebih menarik. Apabila sudah menemukan penyebab dan gambaran lengkap mengenai kondisi anak, maka kita akan lebih tahu bagaimana cara yang tepat untuk membantu mengatasinya.
  
Apakah Perlu Pindah Sekolah?
Jawabannya tergantung pada akar penyebab mengapa anak tinggal kelas. Apabila faktor sistem sekolah ternyata ada peranannya pada tidak naik kelasnya anak, misalnya karena tuntutan sekolah yang tinggi dan tidak mendukung keunikan belajar setiap anak, guru yang terlalu kaku menilai, atau teman-teman sekolah yang mempengaruhi anak malas belajar, maka mungkin saja pindah sekolah bisa jadi solusi.

Hanya saja yang perlu diingat, pada kasus tertentu sebaiknya kita tidak perlu ‘mengatrol’ anak dengan menaikkan ke kelas yang lebih tinggi ketika memindahkan anak ke sekolah lain. Menaikkan ke kelas yang lebih tinggi namun ternyata kemampuan anak kita belum memadai juga akan membuatnya semakin frustrasi karena tidak mampu mengikuti pelajaran. Hal yang perlu kita lakukan adalah membantu anak agar lebih memahami pelajaran dengan baik dengan mengikutkannya pada jam belajar tambahan atau mendampinginya sendiri saat belajar.

Apabila ternyata kemampuan intelektual anak kita sebenarnya baik dan yang bermasalah adalah motivasi, kedisiplinan, atau konsentrasi belajarnya, maka menaikkan anak ke kelas berikutnya masih boleh dilakukan asalkan dengan satu syarat. Syaratnya adalah kita harus mencari jalan keluar untuk membantu anak kita menjadi lebih disiplin dan  meningkat konsentrasinya. Hal ini bisa dilakukan dengan mencari sekolah dengan program khusus yang lebih sesuai dengan potensi anak dan mengikutsertakan anak ke tempat pelatihan psikologis yang ditangani oleh terapis khusus. Kita sebagai orangtua pun berperan untuk melatih kedisiplinan dan menanamkan tanggungjawab pada anak.

Mengajarkan Anak untuk Belajar dari Kesalahan
Hal ini perlu dilakukan apabila anak tidak naik kelas karena kurangnya kedisiplinan dalam belajar atau masalah tingkah laku di sekolah. Komunikasikan padanya bahwa tidak naik kelas merupakan merupakan akibat dari tingkahlakunya atau kedisiplinan belajar yang kurang.

Selain itu, lakukan langkah perbaikan untuk meningkatkan kedisiplinan anak. Misalnya dengan membuat jadwal belajar yang konsisten. Apabila ia berhasil melaksanakan tugasnya sesuai dengan jadwal, berilah ia penghargaan dan pujian. Menarik sesuatu yang disukai untuk menunjukkan konsekuensi juga bisa dilakukan. Misalnya, apabila selama ini ia selalu malas belajar karena bermain game, maka mulai saat  ini tidak diizinkan lagi bermain games komputernya dan hanya boleh maksimal sekali dalam seminggu dengan waktu yang dibatasi. Namun, sebisa mungkin hindarilah hukuman fisik karena hal itu justru tidak akan membuat efek jera dan melukai dirinya.

Selanjutnya, latihlah ia untuk bisa bersikap fleksibel. Dalam arti, dorong anak untuk belajar meregulasi diri sendiri sesuai dengan situasi yang ada, misalnya ketika di sekolah, anak diharapkan dapat menenangkan motoriknya sendiri dan duduk diam, di luar itu ketika di halaman misalnya anak dapat bersikap aktif, bermain-main dan hal ini juga bermanfaat bagi perkembangan diri anak.

Perhatikan Sedini Mungkin
Sebagai orangtua, tentunya kita ingin anak kita tumbuh dengan baik dan sukses. Oleh karena itu, perhatikanlah sedini mungkin bagaimana perkembangan anak kita di sekolah dan mata pelajaran yang mungkin menjadi ‘batu sandungan’ bagi dirinya. Jangan sampai kita baru mengetahui kondisi anak kita setelah menerima laporan nilai akhir tahun. Komunikasi dengan guru dan anak merupakan faktor kunci dalam hal ini. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Memperbaiki hal-hal yang menjadi kelemahan anak di awal merupakan langkah pencegahan agar anak jangan sampai merasakan dampak buruk dari tidak naik kelas di kemudian hari.

Referensi
Anderson, Whipple, & Jimerson. (2009). Grade Retention: Achievement and Mental Health Outcomes. http://www.cdl.org/resource-library/articles/grade_retention.php
Jimerson, S. R. (2001). Meta-analysis of grade retention research: Implications for practice in the 21st century. School Psychology Review, 30, 313-330.
National Association of School Psychologists. (2003). Student Grade Retention and Social Promotion www.nasponline.org

Neurofeedback bagi Anak dengan Down Syndrome


Aplikasi Penanganan

Tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari tulisan Christine Cadena.
Sumber:http://www.associatedcontent.com/pop_print.sthtml?

Down syndrome (DS) merupakan komplikasi  kesehatan yang berasal dari abnormalitas kromosom secara genetis. Untuk sebagian besar anak yang lahir dengan Down Syndrome, komplikasi kesehatan yang dialami muncul dalam rentang sprektrum yang luas, dari masalah neurologis, motorik, hingga intelektual.

Meskipun komplikasi fisik dari Down Syndrome biasanya cukup tampak, komplikasi secara intelektual seringkali tidak mudah untuk ditentukan. Untuk anak dengan Down Syndrome, terdapat pula risiko untuk komplikasi neuropsikologis, termasuk gangguan atensi dan hiperaktivitas (ADHD-Attention Deficit and Hyperactivity Disorder). Sebagai konsekuensinya, strategi belajar dan pengajaran sering kali cukup beragam dan dilakukan secara spesifik berdasarkan kebutuhan dari anak Down Syndrome itu sendiri.

Untuk beberapa anak dengan Down Syndrome, khususnya dengan komorbiditas ADHD, penggunaan neurofeedback cukup efektif dalam memperbaiki komplikasi yang berkaitan dengan fungsi intelektual dan kognitif. Dengan menggunakan neurofeedback, anak dengan Down Syndrome dapat mengalami perbaikan dalam tingkah laku, atensi, dan memori dan bahkan mengalami perbaikan dalam keseimbangan dan motorik.

Jika Anda adalah orangtua dari anak yang mengalami Down Syndrome, penting untuk menanyakan kepada dokter anak Anda akan rujukan untuk mendiagnosa ada tidaknya ADHD pada anak Anda. Apabila sudah terkonfirmasi memiliki ADHD, anak anda mungkin membutuhkan terapi dan rehabilitasi tambahan menggunakan neurofeedback.

 Untuk anak yang mengalami komorbiditas Down Syndrome dan ADHD, neurofeedback tampak dapat memperbaiki gejala namun membutuhkan setidaknya 40 sesi sebelum perbaikan yang ada tampak.  Dengan ketekunan, banyak anak Down Syndrome setelah melalui terapi Neurofeedback sebanyak 40 sesi atau lebih mampu menunjukkan kemampuan perhitungan matematika sederhana dan dapat memiliki kemampuan membaca. Mereka juga dapat menulis nama mereka sendiri dengan cara yang cukup dimengerti.

Selain fungsi kognitif dan intelektual, anak-anak DS yang ikut serta dalam sesi neurofeedback juga tampak lebih responsif, lincah, dan bahkan bisa mengembangkan kemampuan lari dan melompat. Pada banyak kasus, anak-anak dengan DS bahkan bisa berpartisipasi dalam olimpiade khusus dan program kegiatan fisik yang dirancang untuk anak-anak dengan disabilitas.

Neurofeedback saat ini menjadi bagian dari teknik penanganan yang penting bagi individu dengan disabilitas. Pada anak dengan Down Syndrome, neurofeedback menyedikan kesempatan baik untuk dapat memperbaiki bukan hanya kemampuan fisik, namun yang lebih penting juga fungsi intelektual dan kognitif. 

Dengan minimum  40 sesi, Anda bisa dengan segera menemukan bahwa anak Down Syndrome Anda meningkat secara cukup  signifikan  untuk mampu berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga menjadi lebih terlibat di sekolah dan kegiatan okupasional lainnya.

Bila tertarik untuk melakukan pelatihan Neurofeedback bagi anak Anda, hubungi:
Brain Optimax
Kelapa Gading Square Miami Bay, M.38
Telp. (021) 4587-0229/94747614
Email: ratih@brainoptimax.com

Minggu, 08 April 2012

Konsultasi: Anak Tidak Fokus Belajar


T: Brain Optimax, saya memiliki satu anak berumur 11 tahun, di sekolah dia sering sekali mengantuk, tidak fokus belajar,  gurunya juga melaporkan bahwa di sekolah dia sering mengganggu teman-temannya. Padahal sebelumnya masalah ini tidak pernah ada sebelumnya. Saya pernah membaca artikel Anda bahwa gelombang otak bisa berkaitan dengan masalah tertentu, apakah masalah anak saya ada hubungannya juga dengan gelombang otak? Bila iya, seperti apa solusinya? Terima kasih.

J:
Halo, permasalahan anak yang sering mengantuk, tidak fokus belajar dan sering mengganggu teman-temannya dapat disebabkan oleh berbagai faktor misalnya nutrisi yang kurang seimbang, adaptasi dengan situasi yang baru, faktor lingkungan dan lainnya. Sebelumnya, ibu juga menyatakan bahwa masalah ini belum pernah terjadi. Berarti ada hal atau peristiwa yang mencetuskan masalah ini. Coba untuk telusuri satu per satu mulai dari makanannya, teman-temannya, gurunya atau lingkungan di sekolahnya saat ini yang kira-kira menyebabkan anak ibu kurang fokus. Komunikasikan kehawatiran anda kepada anak anda dan tanyakan hambatan apa yang ditemuinya di sekolahnya sehingga anda dapat mengetahui penyebabnya utamanya dan menemukan solusi yang lebih sesuai untuk anak anda.

Menurut penelitian, pola gelombang otak tertentu secara signifikan berkaitan dengan masalah tertentu pula. Biasanya apabila anak terlihat mengantuk, gelombang lambatnya cenderung tinggi. Hal ini yang menyebabkan anak kurang fokus belajar. Tetapi seperti yang telah saya katakan sebelumnya faktor yang menyebabkannya bisa bermacam-macam bisa dari nutrisi, emosi maupun lingkungan yang jadinya meningkatkan gelombang lambatnya. Misalnya, nutrisi yang kurang seimbang akan menyebabkan kekurangfokusan dalam pelajaran, mood yang sering berubah menurunkan minat belajar dan mudah terganggu dengan dlingkungannya. Oleh karena itu, kami di Brain Optimax juga melakukan pemeriksaan otak secara lengkap melalui Quantitative Brain Mapping (Q-BrainMap). 

Q-BrainMap dilakukan dengan menempelkan elektroda di kulit kepala untuk membaca gelombang otak. Tapi tenang saja, elektroda yang ditempelkan tidaklah menyakitkan dan tidak memasukkan apa pun ke dalam kepala. Sama halnya dengan stetoskop yang hanya ditempelkan ke dada untuk membaca detak jantung, maka elektroda hanya ditempelkan saja untuk membaca gelombang otak. Melalui Q-BrainMap, kami dapat mengetahui penyebab yang lebih spesifik dari gejala yang dialami anak ibu. Setelah diketahui penyebab utamanya melalui Q-BrainMap, maka akan lebih mudah ditemukan solusi yang tepat untuk membantu anak anda fokus dalam belajar.

Salah satu solusi yang dapat ditawarkan Brain Optimax untuk membantu anak Anda adalah EEG (Electroencephalography) dan HEG (Hemoencephalography) Biofeedback. Metode Biofeedback ini pada dasarnya adalah proses pembelajaran. Sensor akan dipasangkan di kepala klien dan kemudian klien diajarkan untuk  melakukan pengaturan terhadap sistem fisiologis dan syarafnya sendiri melalui ‘umpan balik’ yang ditampilkan EEG dan HEG. EEG akan memberi sinyal mengenai gelombang otak, sedangkan HEG (Hemoencephalography) memberi sinyal mengenai aliran darah beroksigen di otak depan. Klien cukup duduk dengan tenang sambil memperhatikan umpan balik yang ditampilkan dalam bentuk animasi atau suara. Ketika gelombang otak atau aliran darah beroksigen di otak depan bergerak pada arah yang diharapkan, maka animasi atau suara akan muncul. Namun sebaliknya, ketika gelombang otak bergerak pada arah yang tidak diharapkan maka animasi atau suara akan berhenti. Umpan balik ini merupakan sinyal bagi otak untuk menyeimbangkan ‘dirinya sendiri’.

Bila proses pelatihan ini dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan, maka otak akan membentuk sambungan syaraf baru dan gelombang otak yang lebih optimal. Pelatihan ini sudah terbukti secara ilmiah maupun pengalaman klinis kami untuk meningkatkan konsentrasi dan kemampuan belajar. Jadi, bila ibu tertarik, ibu bisa langsung datang berkonsultasi ke Brain Optimax.

Semoga penjelasan dari kami bisa bermanfaat.

Salam,
Tim Klinis Brain Optimax
Kelapa Gading Square Miami Bay M.38
Telp: (021)-4587 0229/9474-7614

Konsultasi: Pikun pada Lansia


T: Hallo Brain Optimax, saya memiliki seorang ibu berumur 60 tahun. Namun, akhir-akhir ini saya mulai khawatir karena dia sering sekali lupa meletakkan barang-barang miliknya dan apa yang ingin dia bicarakan terkadang sulit untuk diucapkan. Pertanyaan saya, apakah kira-kira penyebabnya? Adakah cara untuk mengatasinya?

J: 
Daya ingat yang mulai berkurang atau sering disebut sebagai ‘pikun’ pada orang yang sudah memasuki usia 60 tahunan sebenarnya adalah sesuatu yang lumrah. Hal ini karena ketika seseorang sudah memasuki usia lansia, koneksi syaraf di otaknya sudah mulai berkurang dan akhirnya berpengaruh pula pada kemampuan berpikirnya, khususnya daya ingat. Namun kita memang perlu mencermati sejauh mana penurunan daya ingat ibu Anda berpengaruh pada kehidupannya sehari-hari. Karena apabila memang sudah sangat mengganggu fungsinya sehari-hari,  maka bisa saja gejala ‘kepikunan’ yang dialami ibu Anda sudah bisa dikategorikan sebagai masalah yang bersifat klinis.
Berdasarkan pendekatan Neuro-psikofisiologis, masalah kepikunan berkaitan dengan fungsi sel syaraf yang sudah menurun pada mereka yang sudah lanjut usia. Hal ini yang akhirnya berpengaruh pada kecepatan dan efisiensi pengolahan informasi mereka. Kami di Brain Optimax biasanya melakukan pengecekan melalui Quantitative Brain Mapping (Q-BrainMap) untuk mengetahui ada tidaknya pola gelombang otak yang berkaitan dengan kepikunan yang ibu Anda alami. Untuk menegakkan diagnosa yang lebih tepat, biasanya kami juga perlu melakukan beberapa tes dan observasi lainnya. Apabila Anda datang ke neurolog (dokter ahli syaraf), mereka biasanya juga akan melakukan pemeriksaan melalui pemindaian otak, untuk melihat ada tidaknya area pada otak ibu Anda yang berubah secara struktural dibandingkan orang pada umumnya.
Di pertanyaan Anda, saya kurang dapat menangkap sejak kapan pastinya ibu Anda mengalami gejala yang Anda sebutkan. Atau bagaimana proses gejala kepikunan yang terjadi, misalnya apakah  pada awalnya hanya hal-hal kecil namun kemudian sampai hal-hal mendasar sehari-hari seperti lupa nama sendiri atau lupa mengenai waktu saat ini, hari apa, jam berapa, dan lainnya. Kami memerlukan informasi yang lebih lengkap mengenai hal ini karena akan membantu dalam diagnosa dan penanganannya.
Apabila melihat gejala hanya dari apa yang  Anda sebutkan, saya masih melihat bahwa gejala ibu Anda masih dalam taraf normal untuk orang sesusianya. Untuk membantunya mengatasi masalah yang ibu Anda alami, hal-hal kecil sehari-hari bisa dilakukan. Sebagai contoh, agar beliau tidak lupa meletakkan barang-barang, doronglah ia untuk membuat catatan kecil di sekitar ruangan rumahnya yang berisi tulisan mengenai misalnya , ‘lemari A, isinya: a, b, c, d..”. Atau misalnya, ‘Letakkan kacamata pada laci di sebelah tempat tidur’. Dengan sering membaca hal ini, maka diharapkan ibu Anda akan lebih disiplin meletakkan barang pada tempatnya dan tidak lupa menaruhnya. Apabila ia sudah terlalu sulit untuk membaca misalnya, Anda bisa meminta bantuan orang yang tinggal serumah dengan ibu Anda untuk membantunya mengingatkan atau menyimpankan barang-barangnya. Untuk masalah ‘lupa’ tenyang yang ingin dibicarakan, biasanya  disebabkan oleh kecepatan pengolahan informasi yang sudah berkurang. Hal yang perlu dilakukan  cukup beri beliau waktu untuk mengingatnya dan tidak perlu paksa beliau untuk langsung mengingatnya. Biasanya setelah beberapa lama, beliau akan bisa mengingatnya sendiri.
Latihan mental yang berkesinambungan juga dibutuhkan untuk membantu otak ibu Anda tetap tajam. Di Brain Optimax sendiri,  kami biasanya memberikan rangsangan bagi sel-sel syaraf di otak dengan memberikan pelatihan gelombang otak. Pelatihan ini bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi dan kapasitas pengolahan informasi otak para klien. Untuk latihan mental sehari-hari,  dorong ibu Anda misalnya untuk mengerjakan teka-teki silang atau rajin membaca informasi apa pun yang bermanfaat. Namun bila ibu Anda mengalami kendala dalam hal membaca, maka dengan sering mengajak beliau mengobrol serta mengizinkan ia tetap aktif melakukan hal yang disukainya, seperti memasak, menjahit, dan lainnya juga akan membantu. Ajak pula ia untuk rajin berolahraga, karena aktivitas fisik yang bermanfaat juga akan membantu merangsang otaknya agar tetap aktif. Selain itu, dorong pula ia untuk selalu mengonsumsi makanan yang sehat dengan banyak sayuran dan buah-buahan serta lengkapi pula dengan suplemen yang tepat. Kebutuhan suplemen dan nutrisi setiap orang sebenarnya berbeda-beda. Karena itu, untuk mengetahui suplemen dan makanan apa yang lebih cocok bagi ibu Anda, Anda bisa langsung berkonsultasi pada ahli gizi atau dokter keluarga Anda.

Salam untuk keluarga di rumah,
Tim Klinis Brain Optimax
Kelapa Gading Square Miami Bay M.38
Telp: (021)-4587 0229/9474-7614

Si Kecil Sangat Aktif, Normal atau Tidak?
Oleh: Ratih Arruum Listiyandini, M.Psi, Psi.
Psikolog Klinis-Neuroterapis dari Brain Optimax


Beberapa ibu bertanya pada saya. Beliau bertanya, apakah normal bila anaknya sangat aktif dan tidak bisa diam. Ia merasa cemas, apakah anaknya normal atau tidak. Topik mengenai perkembangan anak yang sangat aktif ini seringkali ditanyakan kepada kami sebagai psikolog. Oleh karena itu, kali ini saya akan coba menjelaskannya dalam tulisan ini.

Sebenarnya seorang anak yang aktif adalah hal yang wajar, karena anak-anak biasanya memang spontan dan senang mengeksplorasi dunia sekelilingnya. Ada rentang usia dimana anak akan lebih aktif dibandingkan pada tahan perkembangan lainnya. Contohnya, anak-anak yang berusia dua hingga lima tahun tentunya lebih aktif dibandingkan pada usia selanjutnya. Pada usia-usia ini anak-anak sedang senang-senangnya mengeksplorasi dunia di sekelilingnya. Maka yang kita perlu lakukan sebagai orangtua adalah cukup mengarahkan ia pada aktivitas yang positif dan tidak merusak. Kita sebagai orangtua juga harus memperhatikan sejauh mana tingkat aktivitas anak masih dalam hal yang positif atau sudah dapat dikatakan cukup mengganggu.

Biasanya memang ketika anak mulai bersekolah, kita bisa melihat dan membandingkan seperti apa tingkat aktivitas anak kita dibandingkan teman-teman seusianya. Apabila teman-teman seusianya sudah bisa diarahkan gurunya untuk duduk tenang dan mau mengikuti instruksi guru, sedangkan anak misalnya justru tidak mau mendengar gurunya,  mengganggu teman-teman satu kelasnya, atau bahkan melakukan ulah yang membuat suasana kelas menjadi tidak tenang, Anda memang sudah saatnya perlu memberi perhatian terhadap perilaku anak Anda.

Alasan seorang anak menjadi sangat aktif dan sulit diatur sebenarnya ada banyak. Beberapa diantaranya misalnya, bisa saja untuk sekedar mencari perhatian. Untuk mengetahui bahwa hal ini yang memang menjadi alasannya,Anda perlu mengamati lebih lanjut apakah ada perbedaan perilaku aktif ketika ada yang memperhatikan dan ketika tidak ada yang memperhatikan. Bila misalnya Anda mengamati bahwa ia biasanya akan bisa langsung diam ketika diperingatkan oleh guru atau Anda sendiri sebagai orangtuanya, maka ada indikasi bahwa perilaku aktifnya memang sekedar mencari perhatian. Kemungkinan lain, pada anak-anak tertentu dengan kecerdasan tinggi mereka sering merasa bosan dengan pelajaran yang diberikan karena kurang menantang. Oleh karena itu, perilaku aktif biasanya dilakukan untuk  mengatasi kejenuhan yang dialaminya. Bisa juga, aktivitas yang cenderung tinggi disebabkan oleh sistem metabolisme tubuh yang mendorongnya terus menerus aktif. Alasan lain adalah ada kemungkinan juga hiperaktivitas yang dimiliki anak memang sudah masuk gangguan klinis sehingga membutuhkan terapi tertentu.

Untuk menyatakan atau menegakkan diagnosa yang tepat dari perilaku anak Anda, kita memang perlu membutuhkan observasi lebih lanjut yang biasanya dilakukan oleh ahli. Bila Anda  merasa bahwa perilaku anak Anda memang sudah sangat mengganggu, bahkan bagi orang lain di sekitarnya, maka tampaknya Anda memang perlu mendatangi professional yang memiliki keahlian di bidang ilmu perilaku, bisa psikolog atau psikiater. Para psikolog maupun psikiater akan melakukan observasi dan pemeriksaan lebih lengkap untuk kemudian memberi saran dan rekomendasi yang lebih tepat.

Kami di Brain Optimax menyebut pendekatan yang kami gunakan sebagai Neuro-psikofisiologis, suatu pendekatan yang bersumber dari pengetahuan mengenai ilmu psikologi, ilmu tentang bagaimana cara otak bekerja,dan ilmu mengenai sistem tubuh bekerja. Berdasarkan pendekatan Neuro-psikofisiologi ini, hiperaktivitas  bisa disebabkan oleh pola gelombang otak tertentu atau sistem metabolisme tubuh.  Oleh karena itu, selain melalui observasi perilaku anak dan wawancara pada orangtua, biasanya Brain Optimax juga melakukan Quantitative BrainMapping (Q-BrainMap) untuk mengetahui pola-pola gelombang otak pada klien. Melalui Q-BrainMap saya bisa menjelaskan lebih dalam apakah hiperaktivitas anak ada hubungannya dengan pola gelombang otak tertentu atau tidak. Bila memang ditemukan pola tertentu yang berkaitan, maka Brain Optimax akan  menambahkan pelatihan gelombang otak yang disebut sebagai EEG-Biofeedback sebagai solusi dari hiperaktivitas yang ada. Pelatihan ini sudah teruji secara ilmiah dapat membantu anak dengan gejala kurang perhatian, impulsif (bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu), dan hiperaktif. Ada berbagai riset dalam jurnal ilmiah mengenai pelatihan EEG-Biofeedback yang bisa Anda buktikan dan cari sendiri melalui jaringan internet. Selain itu, bila anak Anda sangat aktif perlu juga mengarahkannya pada aktivitas fisik positif yang mampu mengeluarkan energinya yang berlebih, yaitu misalnya melalui olahraga. {}

Sumber:
Hughes, J.R., and John, E.R. (1999). Conventional and Quantitative electroencephalography in psychiatry. The Journal of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences, 11, hal.190-206Papalia, Olds, and Feldman. (2007). Human Development. New York: McGraw Hill
Thompson, M., and Thompson, L. (2006). Improving attention in adults and children: Differing electroencephalographic profiles and implications for training, Biofeedback, 34, 99-105