Kamis, 14 Juni 2012

Jika Anak Tidak Naik Kelas

Oleh: Ratih Arruum Listiyandini, M.Psi dan Lidwina Sonia Aji, M.Psi.
         Tim Psikolog Brain Optimax
Dipublikasikan pada Majalah 'Anakku', Juni 2012

Dewasa ini tuntutan sekolah anak dinilai semakin lama semakin berat dibandingkan sebelumnya. Misalnya, sekarang anak dituntut untuk menguasai banyak bahasa dalam waktu yang bersamaan. Beberapa sekolah juga ada yang mengharuskan anak tes IQ dulu sebelum masuk Sekolah Dasar. Tingginya tuntutan dari sekolah ini terkadang tidak sesuai dengan tingkat kemampuan dan penyesuaian diri anak. Oleh karena itu, siswa yang ‘dianggap tidak mampu mengikuti’ tuntutan yang ada harus merasakan tidak dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi atau tinggal kelas.

Aspek Psikologis Tinggal Kelas
Beberapa pendapat menyatakan bahwa tinggal kelas diperlukan apabila anak kesulitan untuk memahami dan mengingat materi belajar yang ada. Melalui pengulangan pada kelas yang sama, diharapkan anak akan lebih mampu memahami pelajaran. Untuk beberapa anak dengan masalah tingkah laku dan kedisiplinan, terkadang tinggal kelas juga dilakukan untuk membuat mereka ‘jera’ dan mau memperbaiki sikap. Tinggal kelas mungkin juga diperlukan bagi mereka yang berusia terlalu muda agar ketika masuk ke tahap selanjutnya bisa lebih matang dan siap.

Di balik beberapa argumentasi logis untuk tidak menaikkan siswa ke kelas yang lebih tinggi, terdapat hasil studi yang ternyata justru menunjukkan bahwa tinggal kelas lebih banyak berdampak buruk terhadap kesehatan mental, baik saat ini maupun masa depan. Anak yang tinggal kelas juga sering dicap sebagai ‘anak yang bodoh’ atau ‘anak yang bandel’ sehingga berdampak buruk terutama mengenai konsep dirinya. Penelitian dari Asosiasi Psikolog Sekolah Amerika menunjukkan bahwa anak yang tinggal kelas memiliki harga diri yang lebih rendah, semakin sering bolos masuk sekolah, dan pada akhirnya menyebabkan mereka putus sekolah. Pada titik ekstrim, hal ini berdampak pada kehidupan dewasa mereka, seperti kesulitan mencari pekerjaan yang layak, terlibat penggunaan narkoba, dan kegiatan kriminal.

Terlepas dari dampak buruk tinggal kelas, sistem tinggal kelas masih diterapkan pada kebanyakan sekolah di Indonesia. Lantas, bagaimana bila anak kita mengalaminya?

Ketika Anak Tinggal kelas, Apa yang Harus Dilakukan?

·         Ketahui Penyebabnya Dahulu
Identifikasi penyebab anak tidak naik kelas akan mengarah pada pemberian solusi yang tepat. Banyak faktor yang mempengaruhi performa anak di sekolah. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi dua, yaitu faktor internal (dari dalam diri anak) dan faktor eksternal (dari lingkungan). Faktor internal yang dapat menyebabkan performa anak di sekolah terhambat misalnya daya atensi yang kurang, perkembangan neurologis yang terhambat, proses kognitif yang kurang efisien, emosi yang kurang terkontrol, motivasi rendah atau masalah tingkah laku. Sebaliknya, faktor lingkungan itu berada di luar diri anak misalnya pengaruh dari teman bermain, tuntutan sekolah yang memang terlalu tinggi, atau kurangnya pengawasan orang dewasa terhadap anak.
Untuk mengetahui penyebab performa anak di sekolah kurang optimal, ada beberapa hal yang bisa dilakukan:

-          Berdiskusi pada guru atau konselor di sekolah anak
Orang tua dapat bertanya kepada guru apa yang menyebabkan anak dinilai belum memenuhi persyaratan naik kelas, bagaimana tingkah laku anak di sekolah, apakah anak dapat mempertahankan atensinya di sekolah dan sebagainya. Pada beberapa kasus anak yang menjelang remaja, bisa juga disebabkan karena pengaruh buruk teman-temannya yang malas belajar misalnya.
-          Komunikasi dengan anak secara langsung
Orangtua juga perlu membangun komunikasi yang hangat dan terbuka kepada anak. Tanyakanlah bagaimana perasaan anak di sekolah, kesulitan-kesulitan apa yang dirasakan oleh anak dan lainnya.
-          Konsultasikan pada ahlinya
Orang tua juga dapat melakukan asesmen psikologis misalnya membawa anak ke klinik psikologi untuk melihat potensi intelektual dan emosionalnya atau melakukan Brain Mapping untuk melihat area otak yang dinilai belum optimal.

Yang pasti, dapatkanlah informasi sebanyak-banyaknya tentang kondisi anak Anda agar dapat memberikan solusi yang sesuai untuk anak.

·         Tetap Berikan Dukungan dan Penghargaan Positif pada Anak
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah orang tua harus selalu memberikan dukungan yang positif pada anak. Tinggal kelas mau tak mau merupakan suatu pengalaman buruk bagi anak. Pasti akan muncul perasaan sedih, merasa bodoh, tidak kompeten, dan berbagai perasaan buruk lainnya. Di sinilah pentingnya dukungan orangtua agar anak tidak menjadi sedih berlaru-larut. Tunjukkan padanya bahwa Anda tetap mencintainya meskipun ia tidak naik kelas dan Anda akan turut menemaninya untuk mau memperbaiki diri. Hiburlah dirinya bila tampak sedih dan tentunya sembari mengajaknya untuk tetap mau berusaha memperbaiki dirinya.
·         Cari Solusi Paling Tepat berdasarkan Penyebabnya
Penanganan anak yang under-achiever (IQ baik tapi prestasi buruk), tentunya berbeda dengan anak yang ternyata memang memiliki IQ di bawah rata-rata. Bila masalahnya adalah under-achiever maka penanganan untuk membangkitkan motivasi dan tujuan belajarlah yang lebih penting. Namun bila anak memiliki kemampuan daya tangkap dan konsentrasi yang kurang, maka dibutuhkan penanganan khusus melalui pengulangan, remedial, atau dengan mengikuti program pelatihan khusus untuk membantu anak meningkatkan konsentrasinya. Bila masalahnya ternyata ada pelajaran yang kurang disukai, maka kita sebagai orangtua bisa membantu mendampingi anak belajar dengan teknik yang lebih menarik. Apabila sudah menemukan penyebab dan gambaran lengkap mengenai kondisi anak, maka kita akan lebih tahu bagaimana cara yang tepat untuk membantu mengatasinya.
  
Apakah Perlu Pindah Sekolah?
Jawabannya tergantung pada akar penyebab mengapa anak tinggal kelas. Apabila faktor sistem sekolah ternyata ada peranannya pada tidak naik kelasnya anak, misalnya karena tuntutan sekolah yang tinggi dan tidak mendukung keunikan belajar setiap anak, guru yang terlalu kaku menilai, atau teman-teman sekolah yang mempengaruhi anak malas belajar, maka mungkin saja pindah sekolah bisa jadi solusi.

Hanya saja yang perlu diingat, pada kasus tertentu sebaiknya kita tidak perlu ‘mengatrol’ anak dengan menaikkan ke kelas yang lebih tinggi ketika memindahkan anak ke sekolah lain. Menaikkan ke kelas yang lebih tinggi namun ternyata kemampuan anak kita belum memadai juga akan membuatnya semakin frustrasi karena tidak mampu mengikuti pelajaran. Hal yang perlu kita lakukan adalah membantu anak agar lebih memahami pelajaran dengan baik dengan mengikutkannya pada jam belajar tambahan atau mendampinginya sendiri saat belajar.

Apabila ternyata kemampuan intelektual anak kita sebenarnya baik dan yang bermasalah adalah motivasi, kedisiplinan, atau konsentrasi belajarnya, maka menaikkan anak ke kelas berikutnya masih boleh dilakukan asalkan dengan satu syarat. Syaratnya adalah kita harus mencari jalan keluar untuk membantu anak kita menjadi lebih disiplin dan  meningkat konsentrasinya. Hal ini bisa dilakukan dengan mencari sekolah dengan program khusus yang lebih sesuai dengan potensi anak dan mengikutsertakan anak ke tempat pelatihan psikologis yang ditangani oleh terapis khusus. Kita sebagai orangtua pun berperan untuk melatih kedisiplinan dan menanamkan tanggungjawab pada anak.

Mengajarkan Anak untuk Belajar dari Kesalahan
Hal ini perlu dilakukan apabila anak tidak naik kelas karena kurangnya kedisiplinan dalam belajar atau masalah tingkah laku di sekolah. Komunikasikan padanya bahwa tidak naik kelas merupakan merupakan akibat dari tingkahlakunya atau kedisiplinan belajar yang kurang.

Selain itu, lakukan langkah perbaikan untuk meningkatkan kedisiplinan anak. Misalnya dengan membuat jadwal belajar yang konsisten. Apabila ia berhasil melaksanakan tugasnya sesuai dengan jadwal, berilah ia penghargaan dan pujian. Menarik sesuatu yang disukai untuk menunjukkan konsekuensi juga bisa dilakukan. Misalnya, apabila selama ini ia selalu malas belajar karena bermain game, maka mulai saat  ini tidak diizinkan lagi bermain games komputernya dan hanya boleh maksimal sekali dalam seminggu dengan waktu yang dibatasi. Namun, sebisa mungkin hindarilah hukuman fisik karena hal itu justru tidak akan membuat efek jera dan melukai dirinya.

Selanjutnya, latihlah ia untuk bisa bersikap fleksibel. Dalam arti, dorong anak untuk belajar meregulasi diri sendiri sesuai dengan situasi yang ada, misalnya ketika di sekolah, anak diharapkan dapat menenangkan motoriknya sendiri dan duduk diam, di luar itu ketika di halaman misalnya anak dapat bersikap aktif, bermain-main dan hal ini juga bermanfaat bagi perkembangan diri anak.

Perhatikan Sedini Mungkin
Sebagai orangtua, tentunya kita ingin anak kita tumbuh dengan baik dan sukses. Oleh karena itu, perhatikanlah sedini mungkin bagaimana perkembangan anak kita di sekolah dan mata pelajaran yang mungkin menjadi ‘batu sandungan’ bagi dirinya. Jangan sampai kita baru mengetahui kondisi anak kita setelah menerima laporan nilai akhir tahun. Komunikasi dengan guru dan anak merupakan faktor kunci dalam hal ini. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Memperbaiki hal-hal yang menjadi kelemahan anak di awal merupakan langkah pencegahan agar anak jangan sampai merasakan dampak buruk dari tidak naik kelas di kemudian hari.

Referensi
Anderson, Whipple, & Jimerson. (2009). Grade Retention: Achievement and Mental Health Outcomes. http://www.cdl.org/resource-library/articles/grade_retention.php
Jimerson, S. R. (2001). Meta-analysis of grade retention research: Implications for practice in the 21st century. School Psychology Review, 30, 313-330.
National Association of School Psychologists. (2003). Student Grade Retention and Social Promotion www.nasponline.org

Neurofeedback bagi Anak dengan Down Syndrome


Aplikasi Penanganan

Tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari tulisan Christine Cadena.
Sumber:http://www.associatedcontent.com/pop_print.sthtml?

Down syndrome (DS) merupakan komplikasi  kesehatan yang berasal dari abnormalitas kromosom secara genetis. Untuk sebagian besar anak yang lahir dengan Down Syndrome, komplikasi kesehatan yang dialami muncul dalam rentang sprektrum yang luas, dari masalah neurologis, motorik, hingga intelektual.

Meskipun komplikasi fisik dari Down Syndrome biasanya cukup tampak, komplikasi secara intelektual seringkali tidak mudah untuk ditentukan. Untuk anak dengan Down Syndrome, terdapat pula risiko untuk komplikasi neuropsikologis, termasuk gangguan atensi dan hiperaktivitas (ADHD-Attention Deficit and Hyperactivity Disorder). Sebagai konsekuensinya, strategi belajar dan pengajaran sering kali cukup beragam dan dilakukan secara spesifik berdasarkan kebutuhan dari anak Down Syndrome itu sendiri.

Untuk beberapa anak dengan Down Syndrome, khususnya dengan komorbiditas ADHD, penggunaan neurofeedback cukup efektif dalam memperbaiki komplikasi yang berkaitan dengan fungsi intelektual dan kognitif. Dengan menggunakan neurofeedback, anak dengan Down Syndrome dapat mengalami perbaikan dalam tingkah laku, atensi, dan memori dan bahkan mengalami perbaikan dalam keseimbangan dan motorik.

Jika Anda adalah orangtua dari anak yang mengalami Down Syndrome, penting untuk menanyakan kepada dokter anak Anda akan rujukan untuk mendiagnosa ada tidaknya ADHD pada anak Anda. Apabila sudah terkonfirmasi memiliki ADHD, anak anda mungkin membutuhkan terapi dan rehabilitasi tambahan menggunakan neurofeedback.

 Untuk anak yang mengalami komorbiditas Down Syndrome dan ADHD, neurofeedback tampak dapat memperbaiki gejala namun membutuhkan setidaknya 40 sesi sebelum perbaikan yang ada tampak.  Dengan ketekunan, banyak anak Down Syndrome setelah melalui terapi Neurofeedback sebanyak 40 sesi atau lebih mampu menunjukkan kemampuan perhitungan matematika sederhana dan dapat memiliki kemampuan membaca. Mereka juga dapat menulis nama mereka sendiri dengan cara yang cukup dimengerti.

Selain fungsi kognitif dan intelektual, anak-anak DS yang ikut serta dalam sesi neurofeedback juga tampak lebih responsif, lincah, dan bahkan bisa mengembangkan kemampuan lari dan melompat. Pada banyak kasus, anak-anak dengan DS bahkan bisa berpartisipasi dalam olimpiade khusus dan program kegiatan fisik yang dirancang untuk anak-anak dengan disabilitas.

Neurofeedback saat ini menjadi bagian dari teknik penanganan yang penting bagi individu dengan disabilitas. Pada anak dengan Down Syndrome, neurofeedback menyedikan kesempatan baik untuk dapat memperbaiki bukan hanya kemampuan fisik, namun yang lebih penting juga fungsi intelektual dan kognitif. 

Dengan minimum  40 sesi, Anda bisa dengan segera menemukan bahwa anak Down Syndrome Anda meningkat secara cukup  signifikan  untuk mampu berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga menjadi lebih terlibat di sekolah dan kegiatan okupasional lainnya.

Bila tertarik untuk melakukan pelatihan Neurofeedback bagi anak Anda, hubungi:
Brain Optimax
Kelapa Gading Square Miami Bay, M.38
Telp. (021) 4587-0229/94747614
Email: ratih@brainoptimax.com