Oleh: Ratih Arruum Listiyandini, M.Psi dan Lidwina Sonia Aji, M.Psi.
Tim Psikolog Brain Optimax
Dipublikasikan pada Majalah 'Anakku', Juni 2012
Dewasa ini tuntutan
sekolah anak dinilai semakin lama semakin berat dibandingkan sebelumnya.
Misalnya, sekarang anak dituntut untuk menguasai banyak bahasa dalam waktu yang
bersamaan. Beberapa sekolah juga ada yang mengharuskan anak tes IQ dulu sebelum
masuk Sekolah Dasar. Tingginya
tuntutan dari sekolah ini terkadang tidak sesuai dengan tingkat kemampuan dan
penyesuaian diri anak. Oleh karena itu, siswa yang ‘dianggap tidak mampu
mengikuti’ tuntutan yang ada harus merasakan tidak dinaikkan ke kelas yang
lebih tinggi atau tinggal kelas.
Aspek
Psikologis Tinggal Kelas
Beberapa pendapat menyatakan bahwa tinggal kelas diperlukan apabila anak
kesulitan untuk memahami dan mengingat materi belajar yang ada. Melalui
pengulangan pada kelas yang sama, diharapkan anak akan lebih mampu memahami
pelajaran. Untuk beberapa anak dengan masalah tingkah laku dan kedisiplinan,
terkadang tinggal kelas juga dilakukan untuk membuat mereka ‘jera’ dan mau
memperbaiki sikap. Tinggal kelas mungkin juga diperlukan bagi mereka yang
berusia terlalu muda agar ketika masuk ke tahap selanjutnya bisa lebih matang
dan siap.
Di balik beberapa argumentasi logis untuk tidak
menaikkan siswa ke kelas yang lebih tinggi, terdapat hasil studi yang ternyata justru
menunjukkan bahwa tinggal kelas lebih banyak berdampak buruk terhadap kesehatan
mental, baik saat ini maupun masa depan. Anak yang tinggal
kelas juga sering dicap sebagai ‘anak yang bodoh’ atau ‘anak yang bandel’ sehingga berdampak buruk
terutama mengenai konsep dirinya. Penelitian dari Asosiasi Psikolog Sekolah Amerika menunjukkan bahwa anak
yang tinggal kelas memiliki harga diri yang lebih rendah, semakin sering bolos
masuk sekolah, dan pada akhirnya menyebabkan mereka putus sekolah. Pada titik ekstrim, hal ini berdampak pada
kehidupan dewasa mereka, seperti kesulitan mencari pekerjaan yang layak, terlibat
penggunaan narkoba, dan kegiatan kriminal.
Terlepas dari dampak buruk tinggal kelas, sistem tinggal kelas masih
diterapkan pada kebanyakan sekolah di Indonesia. Lantas, bagaimana bila anak
kita mengalaminya?
Ketika Anak Tinggal kelas, Apa yang Harus Dilakukan?
·
Ketahui Penyebabnya Dahulu
Identifikasi
penyebab anak tidak naik kelas akan mengarah pada pemberian solusi yang tepat. Banyak faktor
yang mempengaruhi performa anak di sekolah. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi
dua, yaitu faktor internal (dari dalam diri anak) dan faktor eksternal (dari
lingkungan). Faktor internal yang dapat menyebabkan performa anak di sekolah
terhambat misalnya daya atensi yang kurang, perkembangan neurologis yang
terhambat, proses kognitif yang kurang efisien, emosi yang kurang terkontrol,
motivasi rendah atau masalah tingkah laku. Sebaliknya, faktor lingkungan itu berada
di luar diri anak misalnya pengaruh dari teman bermain, tuntutan sekolah yang
memang terlalu tinggi, atau kurangnya pengawasan orang dewasa terhadap anak.
Untuk
mengetahui penyebab performa anak di sekolah kurang optimal, ada beberapa hal yang bisa dilakukan:
-
Berdiskusi pada guru atau konselor di sekolah
anak
Orang tua dapat bertanya
kepada guru apa yang menyebabkan anak dinilai belum memenuhi persyaratan naik
kelas, bagaimana
tingkah laku anak di sekolah, apakah anak dapat mempertahankan atensinya di sekolah dan sebagainya. Pada beberapa kasus anak yang menjelang remaja,
bisa juga disebabkan karena pengaruh buruk teman-temannya yang malas belajar
misalnya.
-
Komunikasi dengan anak secara langsung
Orangtua juga perlu membangun
komunikasi yang hangat dan terbuka kepada anak. Tanyakanlah bagaimana perasaan
anak di sekolah, kesulitan-kesulitan apa yang dirasakan oleh anak dan lainnya.
-
Konsultasikan pada ahlinya
Orang tua juga dapat
melakukan asesmen psikologis misalnya membawa anak ke klinik psikologi untuk melihat
potensi intelektual dan emosionalnya atau melakukan Brain Mapping untuk melihat
area otak yang dinilai belum optimal.
Yang
pasti, dapatkanlah informasi sebanyak-banyaknya tentang kondisi anak Anda agar dapat memberikan
solusi yang sesuai untuk anak.
·
Tetap Berikan Dukungan dan Penghargaan Positif
pada Anak
Hal
penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah orang tua harus selalu
memberikan dukungan yang positif pada anak. Tinggal kelas mau tak mau merupakan suatu pengalaman buruk bagi anak. Pasti
akan muncul perasaan sedih, merasa bodoh, tidak kompeten, dan berbagai perasaan
buruk lainnya. Di sinilah pentingnya dukungan orangtua agar anak tidak menjadi
sedih berlaru-larut. Tunjukkan padanya bahwa Anda tetap mencintainya meskipun
ia tidak naik kelas dan Anda akan turut menemaninya untuk mau memperbaiki diri.
Hiburlah dirinya bila tampak sedih dan tentunya sembari mengajaknya untuk tetap
mau berusaha memperbaiki dirinya.
·
Cari Solusi Paling Tepat berdasarkan
Penyebabnya
Penanganan anak yang under-achiever (IQ baik tapi prestasi buruk), tentunya berbeda
dengan anak yang ternyata memang memiliki IQ di bawah rata-rata. Bila
masalahnya adalah under-achiever maka
penanganan untuk membangkitkan motivasi dan tujuan belajarlah yang lebih
penting. Namun bila anak memiliki kemampuan daya tangkap dan konsentrasi yang
kurang, maka dibutuhkan penanganan khusus melalui pengulangan, remedial, atau
dengan mengikuti program pelatihan khusus untuk membantu anak meningkatkan
konsentrasinya. Bila masalahnya ternyata ada pelajaran yang kurang disukai,
maka kita sebagai orangtua bisa membantu mendampingi anak belajar dengan teknik
yang lebih menarik. Apabila sudah menemukan penyebab dan gambaran lengkap
mengenai kondisi anak, maka kita akan lebih tahu bagaimana cara yang tepat untuk
membantu mengatasinya.
Apakah
Perlu Pindah Sekolah?
Jawabannya tergantung pada akar penyebab mengapa anak tinggal kelas.
Apabila faktor sistem sekolah ternyata ada peranannya pada tidak naik kelasnya
anak, misalnya karena tuntutan sekolah yang tinggi dan tidak mendukung keunikan
belajar setiap anak, guru yang terlalu kaku menilai, atau teman-teman sekolah
yang mempengaruhi anak malas belajar, maka mungkin saja pindah sekolah bisa
jadi solusi.
Hanya saja yang perlu diingat, pada kasus tertentu sebaiknya kita tidak
perlu ‘mengatrol’ anak dengan menaikkan ke kelas yang lebih tinggi ketika
memindahkan anak ke sekolah lain. Menaikkan ke kelas yang lebih tinggi namun
ternyata kemampuan anak kita belum memadai juga akan membuatnya semakin
frustrasi karena tidak mampu mengikuti pelajaran. Hal yang perlu kita lakukan
adalah membantu anak agar lebih memahami pelajaran dengan baik dengan
mengikutkannya pada jam belajar tambahan atau mendampinginya sendiri saat
belajar.
Apabila ternyata kemampuan intelektual anak kita sebenarnya baik dan
yang bermasalah adalah motivasi, kedisiplinan, atau konsentrasi belajarnya,
maka menaikkan anak ke kelas berikutnya masih boleh dilakukan asalkan dengan
satu syarat. Syaratnya adalah kita harus mencari jalan keluar untuk membantu
anak kita menjadi lebih disiplin dan
meningkat konsentrasinya. Hal ini bisa dilakukan dengan mencari sekolah dengan
program khusus yang lebih sesuai dengan potensi anak dan mengikutsertakan anak
ke tempat pelatihan psikologis yang ditangani oleh terapis khusus. Kita sebagai
orangtua pun berperan untuk melatih kedisiplinan dan menanamkan tanggungjawab
pada anak.
Mengajarkan
Anak untuk Belajar dari Kesalahan
Hal ini perlu dilakukan apabila anak tidak naik kelas karena kurangnya
kedisiplinan dalam belajar atau masalah tingkah laku di sekolah. Komunikasikan
padanya bahwa tidak naik kelas merupakan merupakan akibat dari tingkahlakunya
atau kedisiplinan belajar yang kurang.
Selain itu, lakukan langkah perbaikan untuk meningkatkan kedisiplinan
anak. Misalnya dengan membuat jadwal belajar yang konsisten. Apabila ia
berhasil melaksanakan tugasnya sesuai dengan jadwal, berilah ia penghargaan dan
pujian. Menarik sesuatu yang disukai untuk menunjukkan konsekuensi juga bisa
dilakukan. Misalnya, apabila selama ini ia selalu malas belajar karena bermain game, maka mulai saat ini tidak diizinkan lagi bermain games komputernya dan hanya boleh
maksimal sekali dalam seminggu dengan waktu yang dibatasi. Namun, sebisa
mungkin hindarilah hukuman fisik karena hal itu justru tidak akan membuat efek
jera dan melukai dirinya.
Selanjutnya, latihlah ia untuk bisa bersikap fleksibel. Dalam arti,
dorong anak untuk belajar meregulasi diri sendiri sesuai
dengan situasi yang ada, misalnya ketika di sekolah, anak diharapkan dapat
menenangkan motoriknya sendiri dan duduk diam, di luar itu ketika di halaman
misalnya anak dapat bersikap aktif, bermain-main dan hal ini juga bermanfaat
bagi perkembangan diri anak.
Perhatikan
Sedini Mungkin
Sebagai orangtua, tentunya kita ingin anak kita tumbuh dengan baik dan
sukses. Oleh karena itu, perhatikanlah sedini mungkin bagaimana perkembangan
anak kita di sekolah dan mata pelajaran yang mungkin menjadi ‘batu sandungan’
bagi dirinya. Jangan sampai kita baru mengetahui kondisi anak kita setelah menerima
laporan nilai akhir tahun. Komunikasi dengan guru dan anak merupakan faktor
kunci dalam hal ini. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Memperbaiki
hal-hal yang menjadi kelemahan anak di awal merupakan langkah pencegahan agar
anak jangan sampai merasakan dampak buruk dari tidak naik kelas di kemudian
hari.
Referensi
Anderson,
Whipple, & Jimerson. (2009). Grade Retention: Achievement
and Mental Health Outcomes. http://www.cdl.org/resource-library/articles/grade_retention.php
Jimerson, S. R. (2001). Meta-analysis of
grade retention research: Implications for practice in the 21st century. School
Psychology Review, 30, 313-330.
National Association of School
Psychologists. (2003). Student
Grade Retention and Social Promotion – www.nasponline.org