Rabu, 10 April 2013

Mengenal ADD/ADHD pada Anak


Ada seorang ibu berkonsultasi kepada kami. Dia sedang kebingungan karena anaknya baru saja didiagnosa mengalami ADD/ADHD oleh psikiater anak. Sang psikiater pun langsung memberikan resep obat kepada si ibu. Namun demikian, si ibu ragu karena ia tahu bahwa obat memiliki efek samping untuk jangka panjang. Oleh karena itulah, ia datang ke Brain Optimax untuk mencari alternatif penanganan bagi anaknya.

Ada juga orangtua yang lain datang. Mereka mengeluhkan anaknya yang susah berkonsentrasi dan selalu mendapat nilai jelek. Mereka juga bercerita bahwa anaknya ini juga kurang sabar dan seringkali bertindak sesuka hatinya tanpa melihat keadaan lingkungan. Padahal, anak ini sudah berusia remaja dimana ia seharusnya sudah lebih paham mengenai norma sosial. Mereka lalu bertanya, apakah anaknya mengalami gangguan?

Atau untuk Anda sendiri yang memiliki anak  dengan masalah konsentrasi, tidak tekun, berantakan, dan tidak sabaran, mungkin Anda perlu mewaspadai bahwa mungkin saja  anak Anda mengalami suatu gangguan dalam pemusatan perhatian, yang sering disebut sebagai Attention Deficit-Hyperactivity Disorder (ADD/ADHD). Berikut akan saya jelaskan secara ringkas seperti apa gejala ADHD dan penanganannya.

Perlu diketahui bahwa terdapat tiga gejala utama yang menjadi ciri khas untuk menegakkan diagnosa bahwa anak mengalami ADD/ADHD:

  1. Inatensi (Kurang Mampu untuk Memberi dan Memusatkan Perhatian)
Hal ini merupakan gejala yang biasanya paling cepat dideteksi  ketika anak mulai masuk sekolah. Perlu diketahui bahwa pada anak usia dini (balita), kemampuan konsentrasi memang belum berkembang dengan optimal sehingga mereka masih mudah merasa bosan.
Namun, memasuki usia sekolah, anak sudah diharapkan untuk bisa berkonsentrasi.

Orangtua yang mengalami anak dengan ADD biasanya mendapatkan laporan kurang baik dari pihak sekolah, khususnya mengenai kemampuan konsentrasi dan fokus dari si anak dibandingkan dengan teman-teman sebayanya. Mereka memang sulit untuk memberi perhatian pada rutinitas. Anak sering mengantuk, mudah terdistraksi, tidak menyelesaikan tugas dengan tuntas pada waktunya, mudah bosan, tulisan berantakan, buku-buku sering tertinggal atau hilang dan jarang menyelesaikan tugas dengan hasil yang memuaskan karena tidak teliti. Mereka juga seakan sering melanggar perintah dari lingkungan dan tidak mendengar instruksi. Bukan berarti karena telinga mereka bermasalah, namun karena mereka tidak mampu memusatkan perhatian pada perintah yang diberikan.

  1. Impulsif (Kurang Mampu Mengendalikan Dorongan Hati)
Anak-anak yang didiagnosa mengalami ADD biasanya kesulitan untuk bisa mengendalikan dorongan hatinya. Mereka kurang sabar dalam menahan keinginan, menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan, tidak suka menunggu giliran, dan suka menyela dalam percakapan atau permainan.

  1. Hiperaktif (khusus pada mereka yang didiagnosa mengalami ADD dengan Hiperaktivitas)
Masalah kurang mampunya mereka untuk memusatkan perhatian di sekolah, terkadang bertambah rumit pula dengan ketidakmampuan mereka untuk duduk tenang. Mereka sering berlari-larian di antara teman-temannya yang duduk diam, menjahili temannya, terus menerus berbicara atau mengobrol di saat guru menerangkan, dan tampak gelisah apabila sedang duduk. Pada beberapa anak, mereka sering melakukan aktivitas yang membahayakan diri sendiri seperti melompat-lompat dari tempat tinggi atau memanjat sehingga sering berdampak pada cedera fisik akibat sulit untuk tenang.

Namun perlu diingat, kita sangat perlu berhati-hati untuk menegakkan diagnosa mengenai ADD/ADHD. Di samping gejala utama, ada kriteria lain yang lebih spesifik seperti durasi, usia, dan konteks munculnya gejala. Oleh karena itu, selain melalui observasi tingkah laku intensif, para praktisi kesehatan mental juga melakukan serangkaian tes lainnya, seperti Test of Variable Attention (TOVA) untuk mengecek rentang atensi  atau tes psikologi Weschler untuk mengkonfirmasi IQ dan kemampuan kognitif lainnya.

Saya sangat merekomendasikan juga untuk melakukan Quantitative EEG, yaitu pengecekan gelombang otak untuk mengetahui ada tidaknya dominasi gelombang lambat pada otak. Mengapa perlu dilakukan pengecekan gelombang otak? Hal ini tak lain karena para peneliti psikologi masa kini sepakat bahwa ADD/ADHD disebabkan oleh adanya disregulasi fungsi otak. Pada anak yang normal, ketika diminta mengerjakan tugas, otak bagian depan mereka akan aktif. Namun tidak halnya dengan anak ADD/ADHD, otak depan mereka justru ‘tidak menyala’ saat diharuskan berkonsentrasi. Oleh karena itu, semakin kuat mereka berusaha konsentrasi, semakin buruk hasilnya. 

Dengan adanya penyebab yang bersifat neurologis ini, maka bila ditelusuri biasanya ADD/ADHD juga bersifat genetis. Oleh karena itulah, ketika anak kita mendapat diagnosa ADD/ADHD, sebagai orangtua, kita juga perlu merefleksikan diri bahwa mungkin saja kita juga memiliki kendala yang sama dengan anak kita. Faktor lain yang berhubungan juga berkaitan dengan sistem imun dan metabolisme tubuh, keberadaan logam beracun dalam tubuh yang mengganggu kinerja otak, atau cedera kepala.

Dari penjelasan adanya penyebab neurologis pada anak dengan ADD/ADHD, maka sangat wajar apabila para dokter menganggap bahwa cara penanganan yang paling efektif adalah melalui obat. Namun demikian, mengingat adanya efek samping obat yang diberikan, ada beberapa alternatif lain yang bisa dilakukan dan perlu dilakukan secara komprehensif dalam penanganan anak ADD/ADHD:

Terapi Neurofeedback
  1. Melakukan terapi psikologis, khususnya terapi perilaku dan Neurofeedback. Kedua jenis terapi ini terbukti secara ilmiah dalam membantu mengatasi gejala ADD/ADHD.
  2. Memodifikasi gaya pengasuhan. Anak ADD/ADHD akan semakin melawan dan susah berkonsentrasi apabila lingkungan menekannya. Oleh karena itu, dukungan dan kata-kata positif serta  menggali penyelesaian masalah lebih membantu dibandingkan omelan dan teriakan.
  3. Memberikan asupan nutrisi yang tepat. Pada anak dengan ADD/ADHD dianjurkan untuk lebih memperbanyak mengonsumi makanan berprotein tinggi dipadukan dengan sayuran. Mereka juga harus mengurangi konsumsi karbohidrat serta gula sederhana (seperti gula, pasta, roti, mi, dan sejenisnya).
  4. Mencari hal yang paling mereka minati untuk dikembangkan. Meskipun anak dengan ADD/ADHD mudah bosan dengan rutinitas sekolah, namun mereka akan bisa sangat fokus apabila mereka tertarik dan tertantang dengan hal tertentu. Oleh karena itu, sudah tugas kita sebagai orangtua untuk membidik hal apa yang paling mereka nikmati dan mendukung mereka dengan segala potensinya.